Tak pernah kuberniat mempermainkanmu. Hanya saja aku terlambat dalam menyadarinya. Bahwa sebenarnya; aku sangat mencintaimu.
Dulunya, aku berfikir bahwa mungkin kita tidak bisa bersama. Saat kau membuatku keliru dengan sikapmu; meminta serius denganku tapi sikapmu kadang membuatku jemu. Meski harus kuakui, aku juga memang suka menangguhkan keniatanmu.
Pertamanya, saat kumelihat kau dengannya. Aku mencoba bersikap biasa saja. Menidakan rasa cemburu dihatiku semampu yang aku bisa. Saat berbicara denganmu, pun aku merasa tampak luar biasa; menyembunyikan perasaanku seperti selalunya.
Tadinya, aku berfikir aku pasti bisa melakukannya. Namun, aku salah. Karena pada kenyataannya tanpa sengaja aku telah menyakiti diriku sendiri. Dengan pikiran; “toh, sebelum ini juga aku pernah merasakannya: Terluka, sebab sikapku yang suka sekali menidakan semuanya.” Tapi kali ini aku salah. Aku salah besar.
Dan akhirnya, setelah kutahu kau benar-benar telah memilihnya-telah bersamanya. Hatiku bungkam. Ia marah kepadaku. Ia kecewa dengan sikapku. Hingga menunjukan protes dengan menutup diri dan tidak tahu kapan aku bisa membukanya lagi.
Kau tahu, rasa itu benar-benar membuatku keliru. Seolah aku tidak menerima sebuah Takdir tapi aku masih bisa menerima semua itu dengan pikiran; “setidaknya aku tahu kau sudah bahagia”. Betapa munafiknya bukan aku ini?! Mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang sedang aku rasakan.
Dan, setelah aku meyakinkanku sendiri meski rasa trauma masih selalu menghampiri; jika semua ini bukan sebab cinta, aku tak tahu lagi harus mengartikan semua ini itu apa. Dan tak mungkin juga kumerasa kehilangan. Saat kutahu (kini) kau sudah tak lagi sendirian. Lalu aku memilih pergi tanpa adanya sebuah pengabaran.